Dua
raksasa bertemu dalam perang besar. Saat kekuasaan demokrasi hampir dinyatakan
sebagai pendamping negara. Bukan demokrasi yang saling memadukan nilai-nilai
historis yang melegenda. Indonesia mempunyai peradaban budaya yang membahana.
Nilai-nilai eksotisnya mungkin tak kalah dengan peradaban Islam. Dua puluh
tahun Reformasi Indonesia belum menemukan jati bangsa yang sesungguhnya. Dimana
Demokrasi Pancasila tetap kuat dan terjaga. Tetapi dalam hidup bernegara
kekuatan Pancasila hanya dalam bicara saja.
Orang
mungkin dapat berkata “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Tetapi banyak orang menjauhi
nilai-nilai agama. Bahkan melakukan tindakan korupsi yang jelas-jelas merugikan
negara. Negara rugi menjadi akibat masyarakat sengsara.
Pemimpin
bukan raja, pemimpin memberikan inovasi dalam perubahan untuk membangun
kekuatan-kekuatan historis yang melegenda. Pancasila lahir saat Indonesia belum
merdeka. Soekarno yang menyatakannya. Piagam Jakarta adalah drama demokrasi
negara. Dimana pemimpin bukan raja. Soekarna memimpin Indonesia menyatukan
nilai-nilai budaya, agama dan dunia.
Jika
kita ibarat pemimpin negara demokrasi adalah penggerak. Menggerakkan seluruh
rakyat untuk maju kedepan bukan mundur kebelakang. Jangan melihat keatas selalu
melihat kebawah. Jangan melihat ke samping lihat selalu ke depan.
Menjadi
pemimpin bukan hanya mau tetapi juga harus mampu dalam banyak hal mengingat
tidak ada pemimpin yang sempurna. Lihatlah kondisi di sekitar kita yang
dipenuhi dengan pemimpin-pemimpin palsu atau mungkin “tidak tahu diri” dengan
berbagai kendaraan politiknya untuk meraih kekuasaan semu pula. Setiap pemimpin
harus layak menjadi pemimpin bagi rakyatnya bukan sekedar layak menurut diri
dan kelompoknya sendiri. Memahami diri sendiri secara utuh yang dilakukan
dengan berbagai “laku” terstruktur secara rohaniah, intelektual, sosial dan
fisik. Melalui “laku” tersebut seorang pemimpin adalah pemimpin yang
benar-benar unggul dan mampu menjadi pencerah kehidupan masyarakat sehingga
ketika memimpin dapat memenuhi harapan semua pihak, meskipun di dalam
kenyataannya sangat jarang ditemukan
pemimpin yang benar-benar diterima oleh semua kelompok.
Degredasi
pemimpin di Indonesia menunjukkan pengaruhnya sebagai raja. Yang diibarat hanya
bunga. Bentuk-bentuk yang menganut demokrasi Liberal dan terpimpin menjadi
panduan dalam pemerintahan. Saat keadaan kacau-balau pergantian penanganan
bidang menjadi terangsang untuk dibubarkan. Bukan memberi solusi terbaik dalam
memecahkan. Maka ketika pemimpin berbicara para bawahan seperti tunduk bukan
hormat seperti manusia.
Jika
melihat pesona kursi raja yang terlalu gila dalam kekuasaan maka pemimpin harus
bukanlah raja. Pemimpin harus punya jiwa Ksatria. Bukan tenang dalam kursi
rakyatnya. Jiwa yang selalu menerangi dunia serta memberi kehidupan kepada
semua rakyat. Saat pesona kursi memabukkanya, pemimpin harus tetap memberi
jalan untuk keadilan dan kesejahteran yang dijanjikannya. Rakyat yang mempesona
bukan kursi terlalu gila untuk didudukinya.
Jiwa
yang selalu memberi penerangan kepada rakyat yang sedang dicekam kegelapan dan
kesulitan hidup. Bencana bencana bencana Indonesia kian merana. Kegelapan dan
kesulitan hidup menjadi cobaan untuk Indonesia. Politisi korup serta demokrasi
gila menjadi racun bencana Indonesia. Pemimpin berusaha untuk membangun
masyarakat yang sesuai susila Pancasila. Korupsi bukan dibui saat bencana
melanda tetapi bukti Pancasila harus tegas dan bijaksana. Kematian memang
pantas untuk korupsi negara.
Jiwa
penghias menjadi pusat pandangan rakyatnya bersikap sumber susila dan budaya
adiluhung, merupakan kiblat ketaladan sikap dan tingkah laku rakyatnya. Harmoni
sasi susila Pancasila merupakan laku pemimpin utama. Omongan belaka yang digema
tanpa perubahan sikap dan perilaku Pancasila tidak menjadi teladan rakyatnya.
Pancasila harus jiwa, laku susila Pancasila menjadi jalan hidupnya. Keteladanan
Pancasila menjadi kiprah perilaku dan perkataannya.
Jiwa
senantiasa teguh dan kokoh pendiriannya, tidak mudah terpengaruh oleh rayuan,
hasutan, pengaduan dan sikap susila Pancasila. Godaan harta, tahta dan wanita
adalah cobaan berat yang dihadapi raja. Tetapi pemimpin wanita dan harta
merupakan jalan membutakan kekuasaannya. Saat kuasa menjadi milikinya hati tak
mampu membendung hasrat dunianya. Ketika itu pemimpin harus teguh dan kokoh
untuk memimpin rakyatnya. Bukan gila dunianya.
Jiwa
senantiasa memikirkan keselamatan dan kesejahteraan rakyatnya. Rakyat yang
utama, saat memimpin negara. Kepentingan kelompok dan golongan harus ditunda
bahkan dihentikan jika itu merugikan rakyat dan negara.
Jiwa
berpandangan luas dan mampu menampung seluruh masalah yang dihadapi rakyatnya
tanpa membeda-bedakan. Saat rakyat membutuhkan pemimpin harus menjadi dinding
yang melindunginya, bukan menjadi penonton tanpa berbuat apa-apa. Kebenaran hak
utama untuk dibela kesalahan harus dipenjara sesuai undang-undang negara tanpa
membedakan status dan jabatan semata.
Pemimpin
menjadi ujung tombak dalam pengambilan suatu keputusan, sehingga sering dikatakan
kesalahan dari masyarakat maupun bawahan ditangung oleh seorang pemimpin. Calon
pemimpin banyak menggelorakan janji-janji dalam upaya untuk mencari simpati di
masyarakat pada saat dilangsungkannya prosesi kampanye. Akan tetapi setelah
terpilih justru banyak melakukan tindakan kurang terpuji baik yang dilakukan
secara diam-diam maupun secara terbuka. Itulah mengapa kita bukan butuh raja
tetapi pemimpin yang kreatif, unik dan filosofis untuk membangun negara ini.
Jika kita memandang pemimpin adalah raja. Hal
ini justru memicu ketidak percayaan masyarakat terhadap pemimpin, terjadinya
konflik horizontal maupun konflik vertikal, anarkisme dari sekelompok
masyarakat, dan masih banyak lagi kasus sejenis lainnya.
Perlu
diingat bahwasanya pengaruh globalisasi, kapitalisme, hedonisme, dan segala
embel-embel yang mengikutinya terus membuat cengkraman kuat sehingga
karakteristik bangsa secara perlahan-lahan akan dirong-rong dan mulai terkikis.
Secara
sosiologis masyarakat Indonesia paternalistic yang mereka butuh pemimpin bukan
raja artinya masyarakat sangat menghormati pimpinan, bahkan memposisikan
sebagai sosok yang harus diteladani (panutan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar