Pemimpin atau Raja - Sastra Education

Breaking

Kamis, 28 Februari 2019

Pemimpin atau Raja


Dua raksasa bertemu dalam perang besar. Saat kekuasaan demokrasi hampir dinyatakan sebagai pendamping negara. Bukan demokrasi yang saling memadukan nilai-nilai historis yang melegenda. Indonesia mempunyai peradaban budaya yang membahana. Nilai-nilai eksotisnya mungkin tak kalah dengan peradaban Islam. Dua puluh tahun Reformasi Indonesia belum menemukan jati bangsa yang sesungguhnya. Dimana Demokrasi Pancasila tetap kuat dan terjaga. Tetapi dalam hidup bernegara kekuatan Pancasila hanya dalam bicara saja.
Orang mungkin dapat berkata “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Tetapi banyak orang menjauhi nilai-nilai agama. Bahkan melakukan tindakan korupsi yang jelas-jelas merugikan negara. Negara rugi menjadi akibat masyarakat sengsara.

Pemimpin bukan raja, pemimpin memberikan inovasi dalam perubahan untuk membangun kekuatan-kekuatan historis yang melegenda. Pancasila lahir saat Indonesia belum merdeka. Soekarno yang menyatakannya. Piagam Jakarta adalah drama demokrasi negara. Dimana pemimpin bukan raja. Soekarna memimpin Indonesia menyatukan nilai-nilai budaya, agama dan dunia.
Jika kita ibarat pemimpin negara demokrasi adalah penggerak. Menggerakkan seluruh rakyat untuk maju kedepan bukan mundur kebelakang. Jangan melihat keatas selalu melihat kebawah. Jangan melihat ke samping lihat selalu ke depan.
Menjadi pemimpin bukan hanya mau tetapi juga harus mampu dalam banyak hal mengingat tidak ada pemimpin yang sempurna. Lihatlah kondisi di sekitar kita yang dipenuhi dengan pemimpin-pemimpin palsu atau mungkin “tidak tahu diri” dengan berbagai kendaraan politiknya untuk meraih kekuasaan semu pula. Setiap pemimpin harus layak menjadi pemimpin bagi rakyatnya bukan sekedar layak menurut diri dan kelompoknya sendiri. Memahami diri sendiri secara utuh yang dilakukan dengan berbagai “laku” terstruktur secara rohaniah, intelektual, sosial dan fisik. Melalui “laku” tersebut seorang pemimpin adalah pemimpin yang benar-benar unggul dan mampu menjadi pencerah kehidupan masyarakat sehingga ketika memimpin dapat memenuhi harapan semua pihak, meskipun di dalam kenyataannya sangat  jarang  ditemukan  pemimpin  yang  benar-benar diterima oleh semua kelompok.
Degredasi pemimpin di Indonesia menunjukkan pengaruhnya sebagai raja. Yang diibarat hanya bunga. Bentuk-bentuk yang menganut demokrasi Liberal dan terpimpin menjadi panduan dalam pemerintahan. Saat keadaan kacau-balau pergantian penanganan bidang menjadi terangsang untuk dibubarkan. Bukan memberi solusi terbaik dalam memecahkan. Maka ketika pemimpin berbicara para bawahan seperti tunduk bukan hormat seperti manusia.
Jika melihat pesona kursi raja yang terlalu gila dalam kekuasaan maka pemimpin harus bukanlah raja. Pemimpin harus punya jiwa Ksatria. Bukan tenang dalam kursi rakyatnya. Jiwa yang selalu menerangi dunia serta memberi kehidupan kepada semua rakyat. Saat pesona kursi memabukkanya, pemimpin harus tetap memberi jalan untuk keadilan dan kesejahteran yang dijanjikannya. Rakyat yang mempesona bukan kursi terlalu gila untuk didudukinya.
Jiwa yang selalu memberi penerangan kepada rakyat yang sedang dicekam kegelapan dan kesulitan hidup. Bencana bencana bencana Indonesia kian merana. Kegelapan dan kesulitan hidup menjadi cobaan untuk Indonesia. Politisi korup serta demokrasi gila menjadi racun bencana Indonesia. Pemimpin berusaha untuk membangun masyarakat yang sesuai susila Pancasila. Korupsi bukan dibui saat bencana melanda tetapi bukti Pancasila harus tegas dan bijaksana. Kematian memang pantas untuk korupsi negara.
Jiwa penghias menjadi pusat pandangan rakyatnya bersikap sumber susila dan budaya adiluhung, merupakan kiblat ketaladan sikap dan tingkah laku rakyatnya. Harmoni sasi susila Pancasila merupakan laku pemimpin utama. Omongan belaka yang digema tanpa perubahan sikap dan perilaku Pancasila tidak menjadi teladan rakyatnya. Pancasila harus jiwa, laku susila Pancasila menjadi jalan hidupnya. Keteladanan Pancasila menjadi kiprah perilaku dan perkataannya.
Jiwa senantiasa teguh dan kokoh pendiriannya, tidak mudah terpengaruh oleh rayuan, hasutan, pengaduan dan sikap susila Pancasila. Godaan harta, tahta dan wanita adalah cobaan berat yang dihadapi raja. Tetapi pemimpin wanita dan harta merupakan jalan membutakan kekuasaannya. Saat kuasa menjadi milikinya hati tak mampu membendung hasrat dunianya. Ketika itu pemimpin harus teguh dan kokoh untuk memimpin rakyatnya. Bukan gila dunianya.
Jiwa senantiasa memikirkan keselamatan dan kesejahteraan rakyatnya. Rakyat yang utama, saat memimpin negara. Kepentingan kelompok dan golongan harus ditunda bahkan dihentikan jika itu merugikan rakyat dan negara.
Jiwa berpandangan luas dan mampu menampung seluruh masalah yang dihadapi rakyatnya tanpa membeda-bedakan. Saat rakyat membutuhkan pemimpin harus menjadi dinding yang melindunginya, bukan menjadi penonton tanpa berbuat apa-apa. Kebenaran hak utama untuk dibela kesalahan harus dipenjara sesuai undang-undang negara tanpa membedakan status dan jabatan semata.
Pemimpin menjadi ujung tombak dalam pengambilan suatu keputusan, sehingga sering dikatakan kesalahan dari masyarakat maupun bawahan ditangung oleh seorang pemimpin. Calon pemimpin banyak menggelorakan janji-janji dalam upaya untuk mencari simpati di masyarakat pada saat dilangsungkannya prosesi kampanye. Akan tetapi setelah terpilih justru banyak melakukan tindakan kurang terpuji baik yang dilakukan secara diam-diam maupun secara terbuka. Itulah mengapa kita bukan butuh raja tetapi pemimpin yang kreatif, unik dan filosofis untuk membangun negara ini.
 Jika kita memandang pemimpin adalah raja. Hal ini justru memicu ketidak percayaan masyarakat terhadap pemimpin, terjadinya konflik horizontal maupun konflik vertikal, anarkisme dari sekelompok masyarakat, dan masih banyak lagi kasus sejenis lainnya.
Perlu diingat bahwasanya pengaruh globalisasi, kapitalisme, hedonisme, dan segala embel-embel yang mengikutinya terus membuat cengkraman kuat sehingga karakteristik bangsa secara perlahan-lahan akan dirong-rong dan mulai terkikis.
Secara sosiologis masyarakat Indonesia paternalistic yang mereka butuh pemimpin bukan raja artinya masyarakat sangat menghormati pimpinan, bahkan memposisikan sebagai sosok yang harus diteladani (panutan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar